Selasa, 01 Maret 2011

Mengapa Kita Bermazhab??


Pendahuluan

Dalam kehidupan beragama, istilah madzhab sudah lazim kita dengar. Madzhab yang populer atau yang telah diakui oleh kalangan umat Islam ada empat madzhab yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Madzhab Hanbali.

Secara bahasa madzhab berarti jalan. Sedangkan pengertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal ‘Abidin Dimyathi dalam kitabnya al-Idza’ah al-Muhimmah, Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.

Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya. Jadi madzhab itu merupakan hasil elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahui hukumTuhan yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya.

Madzhab itu merupakan sebuah aliran di dalam fiqih yang meliputi :
- Metodologi ijtihad/istinbath yang dilakukan
- Landasan logika yang digunakan
- produk hukum (fiqih) yang dihasilkan

Jadi setiap madzhab yang berbeda itu bukan saja disebabkan karena berbedanya peletak dasar madzhab tersebut, tapi juga dari segi metodologi ijtihad yang digunakan, dasar hukum yang dipakai dan lain-lain. Tapi bisa jadi, meskipun pendekatan dan logika perumusan hukum yang digunakan berbeda tetapi produk hukum (fiqih) yang dihasilkan (untuk masalah-masalah tertentu) sama.

Sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas empat madzhab di atas namun masih ada madzhab yang lain seperti madzhab dua sufyan (Sufyan al-Tsawri dan Sufyan bin ‘Uyainah), Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awzai. Namun yang diakui serta diamalkan oleh golongan Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah hanya empat madzhab karena madzhab selain empat tersebut pendapat-pendapatnya tidak dibukukan dengan baik serta jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan dengan empat madzhab yang pendapat-pendapatnya terkodifikaskan dengan baik oleh murid-murid mereka yang kreatif. Akhirnya validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Mengapa Kita Bermadzhab

Bermazhab sering disebut bertaklid. Namun bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi’i. Jadi, ada tingkatan bermadzhab atau bertaqlid. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri. Pertanyaan mengapa kita bermadzhab akan terjawab dengan sendirinya dengan penjelasan taqlid dan Ijtihad dibawah ini.

Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang ‘alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada ‘awam (yang kurang mengerti dan memahami suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqih, hal ini dikenal dengan istilah taqlid atau ittiba. Menurut Muhammad Sa’id al-Buthi mendefinisikan taqlid sebagai berikut: “Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunkan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah itu sendiri”. Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al-Suyuthi dalam Kitab al-Kawkab al-Sathi fi Nazhm Jam’ al-Jawami : 492, mengatakan: “Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam ataupun orang alim. Berdasarkan firman Allah SWT (QS.Al-Anbiya’ 7), “Bertanyalah kamu kepada orang yang ahli (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu”. Dengan demikian, taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang ‘alim yang sudah mengetahui dalilpun masih dalam kategori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka tetap wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan , tidak sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum.

Tidak semua taqlid tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlidnya orang ‘alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik dari pada memaksakan diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Taqlid adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah tidak. Jika dikemudian hari dia tahu argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid buta yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya dalam cara mengambil suatu kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.

Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal; “Janganlah kamu ber-taqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Awza’I, dan al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad bin Hanbal berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang Kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar kalau Imam Ahmad mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.

Sebetulnya, proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah SAW masih hidup. Beliau pernah mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal RA ke negeri Yaman untuk menyebarkan agama Islam. Ketika sahabat Mu’adz menghadap Rasulullah SAW, beliau menanyakan kepadanya tentang urutan dalam pengambilan keputusan: “Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA bahwa pada saat Rasulullah SAW mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah masalah?” Dia menjawab, “Saya memutuskan dengan kitab Allah.” Nabi SAW bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah SAW.” Nabi SAW bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah?” Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Lalu Mu’adz berkata, “Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai Rasulullah SAW” (Sunan al-Darimi, 168).

Ijtihad mendapat legalitas (pengakuan) dalam Islam, bahkan dianjurkan. Banyak ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang menyinggung urgenitas ijtihad. Apapun hasilnya, ijtihad merupakan kegiatan yang terpuji. Dalam sebuah Hadits dijelaskan: “Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (Musnad Ahmad bin Hanbal, 17148). Hal ini menunjukan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya.

Maka sungguh ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur’an dan Hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, sudah merasa mampu berijtihad. Padahal sebenarnya, tanpa disadari dia sedang bertaqlid buta pada penterjemah buku tersebut, karena tidak bisa mengkoreksi dan mengkritisi hasil terjemahan tersebut, apakah benar atau salah.

Ijtihad yang dimaksud adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Tuhan tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan al-Hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, Qiyas serta dalil yang lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Suyuthi: “Ijtihad adalah usaha seorang faqih (ahli fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (interpretatif).” (Al-Kawakib al-Sathi fi Nazhm Jam’ al-Jawami’, Juz II, hal 479).

Dengan demikian tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Ia harus benar-benar ahli dalam ilmu agama. Yakni ahli dan memahami ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu nahwu, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat melakukan proses ijtihad. Syarat-syarat tersebut adalah:

Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk di dalamnya harus mengetahui Asbab al-Nuzul (latar belakang turunya al-Qur’an), Nasikh-Mansukh, Mujmal-Mubayyan (kalimat yang global dan parsial), al-Am wa al-Khash (Kalimat yang umum dan khusus), Muhkam-Mutasyabih (kalimat yang jelas dan samar), dan sebagainya

Memiliki ilmu yang luas tentang Hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti Asbab al-Wurud (latar belakang munculnya Hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para perawi Hadits).

Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (Ijma’)

Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum.

Menguasai Bahasa Arab dan gramatiknya secara mendalam, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum)

Memahamai serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang berpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyat (primer atau poko), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan).

Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.

Mempunyai niat serta akidah yang benar. Denagn kata lain, tujuannya bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT ingin mencari hukum demi kemaslahatan seluruh manusia.

Melihat persyaratan yang cukup ketat ini, hamper tidak seorangpun memiliki lima persyaratan itu secara utuh. Masing-masing orang memiliki kelebihan dan kelemahan yang tidak ada pada yang lainnya. Bisa saja seseorang hanya memenuhi sebagian kecil dari persyaratn itu. Tapi orang lain memiliki bahkan menguasai persyaratan itu secara utuh. Oleh karena itu secara singkat mujtahid dibagi menjadi 5 tingkatan:
Mujtahid Muthlaq/ Mustaqil
Mujtahid Muntasib
Mujtahid Muqayyad
Mujtahid Madzhab/Fatwa
Mujtahid Murajjih.

Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf ‘merasa’ mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Lalu apakah pintu ijtihad sudah tertutup? Kalau dilihat bahwa ijtihad merupakan kegiatan menggali hukum yang dipetik dari al-Qur’an dan al-Hadits serta dalil lainnya, maka pintu ijtihad masih terbuka. Karena perkembangan zaman melaju dengan begitu cepat, maka diperlukan pendampingan jawaban dari ijtihad para mujtahid. Sehingga pada setiap masa dapat dipastikan ada seseorang mujtahid yang berijtihad untuk menyelesaikan persoalan hukum di tengah masyarakat. Sebagaimana dikatakn oleh Ibn Daqia al-Id: “Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal 67).

Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.

Bagaimana Kita Dalam Bermadzhab

Dalam bermadzhab (bertaqlid), umat islam diberi kebebasan untuk memilih madzhab mana saja yang sesuai dengan hati nuraninya. Tetapi kebebasan tersebut bukan tanpa kendali. Ada satu syarat, bahwa kebebasan ini jangan sampai terperangkap dalam talfiq, karena mayoritas ulama tidak membenarkan adanya talfiq ini. Kemudian apa yang dimaksud dengan talfiq itu?, dan apa pula tujuan dari pelarangan talfiq ini?

Secara bahasa, talfiq berarti melipat/. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar’i ialah mencampur adukan pendapat ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan dalam kitab Tanwir al-Qulub, 397; “(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur adukan antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orangorang yang berpendapat tersebut.”

Jelasnya talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:

Seorang berwudhu menurut madzhab Imam Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyah (bukan muhrimnya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’i dan Hanafi dalam masalah wudhu. Yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’i membatalkan wudhu seorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.

Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam Syafi’i. Lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannnya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam Syafi’i, meunurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughaladzah (najis yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam tersebut tidak mengangap sah shalat yang dilakukan.

Talfiq semacam ini dilarang dalam agama. Sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin: “Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucnya anjing dan ikut pada Imam Syafi’i dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan satu shalat.”

Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak Tatabbu al-Rukhsah (mencari yang gampang-gampang), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan . Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama.

Kemudian yang perlu dihindari dalam bermadzhab adalah sikap fanatisme terhadap suatu madzhab tertentu serta memonopoli kebenaran, karena sikap ini dapat menimbulkan perpecahan dan akhirnya menjadi kelemahan umat Islam. Sebab tiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda: Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah maka baginya satu pahala.”

Kesimpulan

Dari uraian makalah di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Madzhab merupakan sebuah ‘jalan’ yang disediakan oleh para mujtahid sebab adanya perbedaan pendapat di antara mereka.

Bagi orang awam wajib hukumnya bermadzhab karena kita tidak mengetahui samudra syari’ah yang sangat luas dari seluruh madzhab dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rosul maka kita tidak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa-fatwa para imam ahli hadits zaman dahulu.

Bagi orang awam bermazhab hanyalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab tidak mungkin mereka mencari sendiri didalam Al Qur’an dan hadits, bisa dibayangkan bagaiman sulitnya orang awam mempelajari semua ajaran agamanya melalui Al Qur’an dan hadits.Sebab kita ini masih buta akan ilmu-ilmu yang harus di miliki oleh seorang mujtahid

Umat Islam tidak harus terikat pada satu madzhab tertentu, tetapi mereka diberi kebebasan untuk memilih madzhab.

Yang berhak diikuti hanya terbatas pada empat madzhab saja, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Dalam bermadzhab harus menghindari Talfiq (mencampur adukan madzhab) dengan tujuan untuk menghindari main-main dalam beribadah dan sikap fanatisme yang dapat menimbulkan perpecahan umat Islam.

Ijtihad merupakan usaha untuk mencari hukum Allah SWT demi kemaslahatan manusia. Namun tidak semua orang dapat melakukannya. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat melakukan proses ijtihad.

Hingga saat ini pintu ijtihad masih terbuka. Sampai sekarangpun masih terbuka peluang muculnya para imam mujtahid. Namun yang bisa memasuki pintu tersebut tentulah orang-orang yang memiliki kualitas pribadi dan keilmuan yang memenui syarat-syarat di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdusshomad, KH. Muhyidin, Fiqh Tradisionalis “Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari”, Surabaya: Khalista 2004.
Mustofa, KH. Bisri, Risalah Ijtihad dan Taqlid (Semarang: Menara Kudus TT)
Abbas, KH. Sirajudin, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar