Selasa, 28 Desember 2010

Puasa Arafah Lagi


Puasa Arofah Ikut Saudi atau Pemerintah kita sendiri?

Oleh: Al Ustadz Al Fadhil Tama Musyoma

Banyak yang membingungkan tentang "Kapankan Ied Adha?" bahkan banyak sekali pertanyaan masuk via FB dan SMS.. ditambah dikarenakan dengan tidak terpujinya beberapa Oknum yang menuduh PEMERINTAH TELAH MENYESATKAN RAKYATNYA dengan menentukan Ied Adha pada Hari Rabu.. Ironisnya diantaranya Justru Eramuslim.com yang menyatakan dirinya sebagai situs rujukan umat islam namun justru memecah belah umat? betapa sempitnya Media umat sebesar itu justru mengajak umat umat menentang Pemerintah dalam hal Furu'iyah..?? tentu saja banyak umat yang keder.. Masyallah... sudah gitu isunya diperbesar oleh beberapa Harokah / Organisasi Islam yang Bukannya menyatukan Umat demi mencapai Khilafah malah asal nyosor menyudtkan pemerintah
dan memecah umat.. sekali lagi inikan masalah khilafiyah?? jangan dijadikan masalah ketauhidan sehingga umat atau pemerintah DISESAT-SESATIN?? malah justru aneh yang tidak mau menerima kebijakan pemerintah? padahal pemerintah ada hakim dan iman setelah wafatnay Rasulullah yang wajib diikuti selama tidak keluar pakem dari Qu'an dan Hadist..

Alhamdulillah aku mendapat artikel bagus tentang masalah ini yang dikirim via email oleh Uts. Jamal http://www.facebook.com/profile.php?id=100000099226820&ref=ts semoga bermanfaat.. sebagai tambahan wawasan..

Lebaran : 100% Otoritas Pemerintah

Banyak orang kurang mengerti bahwa sebenarnya dalam syariah Islam, penetapan tanggal dalam syariah 100 persen adalah keputusan politik, dimana peran penguasa menjadi sangat mutlak. Dan rakyat yang ada di wilayah negeri itu terikat secara syariah dan hukum atas ketetapan pemerintahnya.

Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat serta perilaku umat Islam sepanjang 14 abad ini. Sehingga hal itu sudah menjadi ijma` di kalangan ulama.

1. Masa Rasulullah SAW

Di masa Rasulullah SAW, meski ada banyak laporan tentang penampakan hilal (bulan sabit) yang masuk dan berbeda-beda, namun yang berwenang menetapkan jatuhnya tanggal 1 awal bulan Ramadhan, 1 Syawwal atau 1 Dzulhijjah adalah Rasulullah SAW, bukan sebagai Nabi melainkan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.

2. Masa Abu Bakar

Sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu menjadi khalifah (pengganti) beliau dalam kapasitas sebagai kepala negara. Maka semua laporan hasil rukyat hilal disampaikan kepada beliau, untuk beliau putuskan mana dari berbagai ijtihad itu yang dipilih dan ditetapkan. Sekali seorang kepala negara menetapkan, maka keputusan itu mengikat mutlak kepada rakyatnya.

3. Masa Umar

Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu menjadi Amirul Mukminin, tiap menjelang bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah selalu masuk berbagai laporan hasil rukyat hilal. Dan tentunya isinya berbeda-beda. Namun kata akhir ada di lidah Umar. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk menetapkannya.

4. Praktek Semua Khilafah Islam Selama 14 Abad

Dan begitulah, sepanjang 14 abad di seluruh dunia Islam, penetapan tanggal itu tidak menjadi domain rakyat, baik sebagai individu atau pun kelompok, melainkan menjadi domain penguasa. Intinya, penguasa adalah otoritas tunggal dalam penetapan tanggal.

Dalam kenyataannya, di masa Nabi dan para khalifah penggantinya itu, kalau seandainya ada seseorang yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat hilal, maka dia wajib berpegang teguh dengan apa yang dilihatnya, meski berbeda dengan ketentuan penguasa.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

Bila kamu melihat bulan itu maka puasalah (QS. Al-Baqarah : 185)

Tetapi kalau dirinya tidak melihat hilal secara langsung, hanya katanya dan katanya, sebenarnya itu sudah termasuk taqlid. Dan karena hanya taqlid dari orang yang mengaku melihat hilal, dirinya tidak wajib menerimanya. Sebaliknya dalam hal ini, justru dia wajib untuk ikut ketetapan khalifah sebagai pemerintah yang sah, ketimbang mengikuti kata satu atau dua orang lain.

Dasarnya adalah firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, ta''atilah Allah dan ta''atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa`: 59)

Sampai sekarang, meski negeri-negeri Islam telah terpecah menjadi kecil-kecil dengan wilayah-wilayah yang sempit, tetapi di dalam negeri masing-masing, penetapan tanggal itu tetap menjadi domain pemerintahnya. Kalau pemerintah itu sudah ketuk palu, maka siapa pun tidak boleh mengeluarkan fatwa sendiri. Tindakan nekat seperti itu dianggap menyalahi aturan syariat, karena itu wajib diperangi.
Meski barangkali ijtihad pihak itu benar, tetapi karena penetapan tanggal itu domain pemerintah, tetap saja tindakan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh otoritas penguasa dianggap sebagai bughat, atau pembangkangan dan penentangan.

Keanehan Indonesia

Pemandangan seperti di negeri kita, dimana ketika Pemerintah telah menetapkan tanggal, lalu ada saja pihak-pihak yang menetapkan sendiri, adalah pemandangan yang aneh kalau kita bandingkan di dunia arab saat ini. Aneh, karena sedemikian lemahnya kedudukan pemerintah dan sedemikian nekatnya ormas-ormas itu telah menerobos keluar dari batas wilayah yang menjadi kewenangannya.

Pemandangan ini amat kontras kalau kita perhatikan dengan apa yang terjadi di berbagai negeri Islam yang lain. Jangan coba-coba rakyat membuat keputusan sendiri tentang penanggalan.

Di Mesir memang ada ribuan kelompok umat Islam yang sering bertikai dan sering saling melecehkan satu sama lain. Tetapi ketika mufti Mesir sebagai representasi dari pemerintah yang sah telah menetapkan kapan lebaran, semua pihak bersatu, kompak, dan tunduk serta taat kepada ketetapan itu.

Di Saudi Arabia demikian juga, meski ada banyak ulama dengan masing-masing alirannya, kadang mereka pun berbeda pendapat dalam penetapan awal bulan, tetapi ketika pihak mufti kerajaan sudah ketuk palu, semua ikut dan patuh pada ketetapan resmi itu.

Wukuf di Arafah itu asalnya mungkin saja bukan cuma satu kata, dan ada banyak ijtihad yang menetapkan wukuf itu hari Ahad, Senin atau Selasa. Tetapi ketika mufti menetapkan hari Senin, ya sudah. Semua tunduk dan patuh.

Hal yang sama kita saksikan juga di berbagai negeri Islam, bahwa ketetapan kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawwal, awal Dzulhijjah, sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang sah. Yang bukan pemerintah, dilarang mengeluarkan fatwa sendiri, apalagi bila bertentangan. Karena tindakan itu dianggap makar yang ingin mengacaukan bangsa.

Beda Pemerintahan Beda Otoritas

Dalam perkembangannya, ketika Islam sudah meluaskan wilayah ke berbagai penjuru dunia, maka wilayah yang luas itu mengalami perbedaan waktu terbit bulan dan matahari. Siang di suatu wilayah akan menjadi pagi atau sore di wilayah yang lain.

Sehingga perbedaan itu pun ikut berpengaruh pada wewenang dalam penetapan tanggal juga, selama di tiap wilayah itu ada otoritas pemerintahan juga. Bahkan meski pemerintahan itu masih bagian dari pemerintahan induk, namun dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam penetapan tanggal.

Hal itu terjadi di masa para shahabat, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan yang tinggal di Syam, dimana beliau berstatus sebagai khalifah, telah menetapkan awal Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat, namun otoritas pemerintah di Madinah menetapkan bahwa 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu.

Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu`awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum`at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; "Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : "Kami melihatnya pada malam Jum`at". Ia bertanya lagi : "Engkau melihatnya (sendiri) ?" Jawabku : "Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu`awiyah Puasa". Ia berkata : "Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) ". Aku bertanya : "Apakah tidak cukup bagimu rukyah (penglihatan) dan puasanya Mu`awiyah ? Jawabnya : "Tidak ! Begitulah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami". (HR. Muslim)

Jadi ada perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadhan antara Syam sebagai pusat pemerintahan dengan Madinah Al-Munawwarah sebagai wilayah. Padahal secara de facto dan de jure, Madinah merupakan wilayah sah dan bagian dari Khilafah Bani Umayyah yang beribukota di Damaskus.

Satu hal yang menarik, kalau kita tarik garis lurus antara Damaskus dengan Madinah di Google Earth, jaraknya hanya sekitar 1000-an Km saja. Artinya jarak itu kalau di Indonesia hanya seperti Jakarta Bali. Artinya, jarak antara keduanya tidak terlalu jauh, tidak dipisahkan dengan siang atau malam.

Perbedaan atau pemisahan otoritas ini dimungkinkan dengan dua syarat. Pertama, wilayah itu terpisah jauh.Al-Imam Asy-Syafi`i menetapkan minimal 24 farsakh. Dengan hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.

Kedua, di kedua wilayah itu memang ada otoritas pemerintahan yang sah, dimana ketetapan itu ditetapkan oleh pemerintahan masing-masing.

Karena hadits di atas itulah maka kita saksikan di zaman sekarang ini, masing-masing pemerintah negeri Islam kadang berbeda dalam menetapkan kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawaal atau awal Dzulhijjah. Pemerintah Mesir sering berbeda dengan pemerintah Saudi. Pemerintah Sudan sering berbeda dengan Libiya, Tunis, Turki, Syria, Jordan, Libanon, Iran atau Iraq.

Secara syar`i, perbedaan itu dimungkinkan, lantaran masing-masing pemerintahan itu berjauhan secara geografis, dan juga independen secara hukum. Pemerintah yang satu tidak mengikat pemerintahan yang lain. Semua berdiri sendiri-sendiri dengan otoritas penuh atas rakyat yang tinggal di masing-masing negeri.

Puasa Arafah Saat Wukuf?

Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah bila kebetulan satu pemerintahan menetapkan tanggal yang berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi Arabia dalam masalah wukuf di Arafah, lalu apakah rakyat yang tinggal di negeri itu ikut puasa dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah Saudi, ataukah tetap dengan tanggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah negerinya sendiri?

Pertanyaan ini menjadi amat penting, mengingat banyak orang yang mengaitkan puasa tanggal 9 Arafah dengan hari wukuf di Arafah.

Contohnya saat ini, Pemerintah Saudi menetapkan wukuf pada hari Senin, karena tanggal 10 Dzhulhijjah ditetapkan jatuh pada hari Selasa, 16 Nopember 2010. Sementara pemerintah Indonesia menetapkan bahwa 10 Dzulhijjah jatuh pada hari Rabu, 17 Nopember 2010. Berarti tanggal 9 Dzhuhijjah menurut penanggalan Indonesia, jatuh pada hari Selasa.

Lalu yang bikin bingung, umat Islam Indonesia puasa sunnah 9 Dzulhijjah kapan? Hari Senin-kah atau hari Selasa? Ikut Saudi kan atau ikut Indonesia?

Saya sendiri kebanjiran pertanyaan seperti ini dan agak kewalahan menjelaskannya. Karena itu saya serahan kepada mufti Saudi Arabia sendiri yang barangkali lebih punya otoritas untuk menjelaskannya. Beliau adalah ulama besar yang bernama Syeikh Al-Utsaimin. Dalam hal ini beliau punya jawaban yang semoga bisa menjadi jalan tengah atas perbedaan ini. Berikut kutipannya :

Syeikh Al-Utsaimin : Puasa Arafah Tidak Perlu Ikut Wukuf Arafah

Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai tempat). Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah hari kesembilan. Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum nampak di Mekah, maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi mereka, maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari ini, karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka.

Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah, maka hari kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka, maka mereka harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).I nilah pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan :

Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah.

Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist diatas). Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya. Dengan demikian penentuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap daerah). Ini adalah ijma’ para ulama.

Oleh karenanya, penduduk Asia Timur memulai puasa sebelum penduduk bagian barat. Dan berbuka sebelum mereka. Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam saling berbeda. Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama.

Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti. Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf).

Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak. Demikian juga shaum Arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal. (Majmu’ fatawa 20)

Ibnu Taimiyah : Puasa Arafah Ikut Tanggal Negeri Masing-masing

Selain pendapat Syeikh Al-Utsaimin di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun memandang masalah lebaran dan wukuf yang berbeda ini sesuai dengan tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah masing-masing negeri.

Secara jelas dan tegas Ibnu Taimiyah mensahkan ru’yah penduduk Madinah dan tidak sedikitpun menyarankan untuk menunggu keputusan penduduk Mekkah.

Hal ini berarti Ibnu Taimiyah memandang bahwa Iedul Adha itu sesuai dengan terlihatnya hilal dinegeri masing-masing.

Nabi Puasa Arafah Tidak Ikut Wukuf

Dalam kenyataannya, ini yang kurang disadari oleh banyak orang, ternyata Rasulullah SAW tiap tahun berpuasa Arafah, tetapi di Arafah tidak ada orang yang wukuf.

Lho, kok bisa?

Ya, memang bisa. Sebab sebagaimana kita ketahui puasa Arafah itu disyariatkan jauh sebelum Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji. Ibadah puasa Arafah telah disyariatkan sejak awal beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan ibadah haji baru dikerjakan di tahun kesepuluh dari hijrah beliau ke Madinah. Artinya, selama bertahun-tahun beliau berpuasa Arafah, di Arafah tidak ada orang yang wukuf.

Kita tahu bahwa wukuf di Arafah itu tidak ada dalam manasik haji orang-orang jahiliyah, mereka hanya mengenal manasik berbentuk tawaf saja, itu pun arah putarannya keliru. Mereka mengerjakannya searah dengan jaruh jam kalau dilihat dari atas. Padahal manasik haji Rasulullah SAW menetapkan bahwa tawaf di seputar ka`bah itu berlawanan dengan arah jarum jam kalau di lihat dari atas.

So, Nabi SAW berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wukuf di Arafah. Pokoknya, kalau di Madinah sudah masuk tanggal 9 Dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau SAW dan para shahabat berpuasa. Urusan Mekkah ya urusan Mekkah, tapi urusan Madinah ya diurus oleh Madinah sendiri. Masing-masing mengatur urusan sendiri-sendiri.

Keanehan Berikutnya

Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang sudah ada, yaitu meski banyak yang puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi Arabia, yaitu hari Senin, ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut. Sebaliknya, giliran shalat Idul Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia, yaitu hari Rabu. Hehe, ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid.

Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai taqlidnya. Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah.

Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah.

Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat. Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu.

Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.

Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".

Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
sumber: www.sufimedan.blogspot.com

Selasa, 16 November 2010

Puasa Arafah III

Puasa Tarwiyah dan Arafah
26/12/2006

PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.

Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)

Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.

Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum'at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim). (***Anam)

sumber : NU Online

Puasa Arafah II

Menyatukan Perbedaan Rukyatul Hilal

Untuk menentukan awal Ramadhan ada dua macam caranya, yakni Rukyatul Hilal dan Ilmu Falaq, yang masing-masing dari keduanya merupakan sama-sama termasuk Ilmu Pasti. Walaupun sama-sama umat Islam, sama-sama melakukan ibadah pada bulan yang sama, dan sama-sama melakukan metode yang sama, tetapi kadang-kadang terdapat perbedaan dalam menentukan awal dari Ramadhan. Segolongan umat sudah mulai melakukan puasa, sedangkan golongan yang lain belum. Seolah-olah umat ini tidak satu.

Masalahnya, dalam penentuan awal Ramadhan ini kadang-kadang orang-orang kita ada semacam ingin mempunyai ciri-ciri khusus yang ingin dikedepankan. Katakanlah ada pihak-pihak tertentu di Indonesia ini yang ingin namanya dikenal dan sebagainya. Sehingga dia mencoba untuk Ijtihad sendiri tanpa mau memahami hadits dan Ijtihad-ijtihad orang lain. Itulah yang menjadi permasalahan, perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan juga syawal.

Di Negara Islam seperti di Saudi dan lain-lain, semuanya kompak. Artinya penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya Iedul Fitri itu tidak masing-masing seperti di Indonesia ini. Dan memang sudah jelas dalam Islam, sekiranya tanggal 29 itu memang belum nampak karena disebabkan mendung atau hujan dan sebab lain, maka dalam ini harus disempurnakan bulan Syakban menjadi 30 hari. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan, kalau langit terjadi mendung atau karena sebab lain yang menyebabkan tidak bisa melihat bulan maka sempurnakanlah 30 hari. Karena bulan didalam Islam itu minimal 29 hari, dan maksimal 30 hari. Tidak ada 28 ataupun 31 hari. Kaidah ini sebenarnya cukup mudah, tapi karena tadi ingin mempunyai ciri khusus di bagiannya atau golongannya sehingga terjadi seperti itu.

Dalam penentuan awal ramadhan atau Syawal ini sebenarnya yang lebih cocok dan berwewenang adalah pemerintah. Artinya bukan masing-masing. Kita kiaskan saja seperti dalam pelaksanaan hukuman misalnya, kalau ada orang yang melihat ada orang yang berbuat zina, kemudian cukup juga bukti dan empat orang saksinya yang melihat, bolehkah di kampung itu menyidang orang yang berbuat zina tersebut, yang kemudian menjatuhkan hukuman? Sedangkan sudah barang tentu tidak boleh seperti itu. Tetapi hendaknya menyerahkan kepada pemerintah. Dalam hal ini pemerintah adalah Departemen Agama yang mempunyai wewenang khusus dibidang untuk menentukan hilal tadi.

Seperti NU misalnya, NU juga ada Ijtihad untuk Rukyatul Hilal. Yang lain juga katakanlah Naqsabandy di Indonesia juga ada Ijtihad. Dan masih banyak contoh lain Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Silakan. Dari hasil perhitungan dan Ijtihad itu kemudian sampaikan kepada pemerintah yang mengolah untuk disampaikan kepada masyarakat. Bukan masing-masing mengumumkan hasil Ijtihad diri sendiri.

Kalau kita berpegang pada hadits yang menyebutkan bahwa ; seandainya tanggal 29 itu kita tidak mampu melihat, sempurnakanlah bulan syakban menjadi 30 hari. Maka Insya Allah tidak akan ada khilaf. Nah, kalau bagaimana kalau tidak bisa dilihat itu pada hari ke 30, ya pasti besoknya hari raya. Tapi kalau masih 29 tentu disempurnakan. Selesai sebenarnya masalahnya. Tapi rasanya sulit sekali untuk bisa bersatu.

Kemudian pada hadits lain, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw sangat memperhatikan hari-hari di bulan Ramadhan itu lebih dari pada memperhatikan bulan-bulan yang lain. Jadi, akhir syakban Rasulullah saw sudah mulai mengintai. Nah, kemudian apabila terjadi mendung maka Rasulullah saw menghitungnya bulan syakban 30 hari, baru Rasulullah berpuasa. Kalau kita berpatokan pada hadits seperti ini, Insya Allah tidak akan ada perbedaan atau Khilaf dalam menentukan awal puasa dan Iedul Fitri.

Mengenai terbitnya Hilal memang ada pendapat yang berbeda, artinya dalam menetapkan. Biasanya antara satu Negara dengan Negara lain memang berbeda. Seperti kita di Indonesia ini ada waktu bagian timur, ada waktu bagian tengah dan ada waktu bagian barat. Dengan perbedaan tempat seperti itu bisa saja disuatu daerah kelihatan duluan, dan di daerah lainnya belum. Seperti halnya antara kita Indonesia dengan Makkah, yang mana kita lebih awal 4 jam dari Makkah. Tapi belakangan ini malah di Makkah Ramadhan lebih dulu dari pada kita di Indonesia.

Puasa ‘Arafah misalnya, kita berpuasa ketika orang-orang sedang beribadah di ‘Arafah. Tapi belakangan ini tidak. Mereka sudah berada di ‘Arafah sebelumnya, katakanlah hari ini sudah di ‘Arafah. Kita, baru puasa ‘Arafah besoknya, padahal besoknya disana sudah Iedul Adha. Sementara orang berpikir, ‘Apa tidak dosa hari raya melakukan puasa?’ bagaimana? Kita masih berpuasa, sedangkan orang lain sudah hari raya. Apa kita dianggap berpuasa pada hari raya? Tidak. Karena puasa itu dasarnya adalah Rukyatul Hilal. Atas dasar masuknya tanggal. Jadi bukan karena orang sudah berpuasa, lantas kita ikut puasa.

Sebagai orang yang beriman, kita harus taat pada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Seperti dalam firman-Nya, ‘Tatlah kepada Allah, Taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin diantara kamu’. Maka tidak aka nada lagi perbedaan pendapat mengenai Rukyatul Hilal. Walaupun masing-masing masih dibolehkan berijtihad. Silakan berijtihad. Tetapi hasil dari Ijtihadnya itu diserahkan kepada Ulil Amri atau Pemerintah. Insya Allah dengan seperti ini kita bisa bersatu.

Disampaikan oleh:

Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Cipining ; KH Jamhari Abdul Jalal, Lc.

Pada acara Ifthar Jam’i (Pengajian Sore) guru-guru bujang

Tanggal 30 Agustus 2009 M / 09 Ramadhan 1430 H, Pukul 17.00 WIB

sumber : darunnajah-cipining.com

Puasa Arafah I

Fadhilah Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Qamariyah/Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.

Kesunnahan puasa Arafah tidak didasarkan adanya wukuf di Arafah oleh jamaah haji, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia tidak sama dengan di Saudi Arabia yang hanya berlainan waktu 4-5 jam. Ini tentu berbeda dengan kelompok umat Islam yang menghendaki adanya ‘rukyat global’, atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah, dimana penanggalan Islam disamaratakan seluruh dunia, dan Saudi Arabia menjadi acuan utamanya.

Keinginan menyamaratakan penanggalan Islam itu sangat bagus dalam rangka menyatukan hari raya umat Islam, namun menurut ahli falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku secara nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan berlaku satu wilayah hukum. Ini juga berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW sendiri. (Lebih lanjut tentang hal ini silakan klik di rubrik Syari’ah dan Iptek)

Penentuan hari arafah itu juga ditegaskan dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo, akhir 1999. Ditegaskan bahwa yaumu arafah atau hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan pada rukyatul hilal.

Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً



Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)

Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Selain itu, memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:


مَا مِنْ أيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِيْ أَياَّمُ اْلعُشْرِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهُ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ



Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid. (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa Ramadhan.

Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab tentang puasa:


يُعْلَمُ أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التََطَوُّعِ أَنْ يَنْوِيَ اْلوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّعِ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ




Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya. (A Khoirul Anam) sumber: Buntet Pusantren, NU Online

Rabu, 07 Juli 2010

Jadwal Ta'lim Periode Ke-3

20) 21 Rajab 1431 H/3 Juli 2010
Halaman SDN 07 Pagi Lenteng Agung
Wkl. Kepala Sekolah : Ust. Sudarma S.Ag.

22) 28 Rajab 1431 H/10 Juli 2010
Musholla Al-Insyiroh Rt. 01 /08
Ketua Musholla : Ust. Nanang Afandi

Risalah Shalat Tarawih 2

Sayyid Ali Fikri dalam bukunya “Khulashatul Kalam fi Arkanil Islam” halaman 114 menuturkan tentang salat tarawih sebagai berikut:• Salat tarawih hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang hukumnya mendekati wajib) menurut para Imam Madzhab pada malam-malam bulan Ramadlan.
Waktunya adalah setelah salat Isyak sampai terbit fajar; dan disunnahkan salat witir sesudahnya.• Salat tarawih disunnahkan beristirahat sesudah tiap empat rakaat selama cukup untuk melakukan salat empat rakaat. Jumlah bilangannya adalah 20 rakaat dan setiap dua rakaat satu kali salam.
Salat tarawih disunnahkan bagi orang laki-laki dan perempuan.• Cara melakukan salat tarawih adalah seperti salat subuh, artinya setiap dua rakaat satu salam; tidak sah tanpa membaca Fatihah dan disunnahkan membaca ayat atau surat pada setiap rakaat.Hikmah salat tarawih adalah untuk menguatkan jiwa, mengistirahatkan dan menyegarkannya guna melakukan ketaatan; dan juga untuk memudahkan mencerna makanan sesudah makan malam. Apabila sesudah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatan; kesegaran jasmaninya menjadi lesu dan rusak.
Orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan salat tarawih secara berjamaah dengan hitungan 20 rakaat adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan disetujui oleh para sahabat Nabi pada waktu itu. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kegiatan salat tarawih secara berjamaah seperti ini terkait sabda Rasulullah saw:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ“
Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin”.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. bahkan menambah jumlah rakaatnya menjadi 36 (tiga puluh enam) rakaat. Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah yang setiap kali selesai melakukan salat empat rakaat, mereka melakukan thawaf. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan salat empat rakaat sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran berimbang.
Berdasarkan sunnah dari Khalifah Umar bin Khattab tersebut, maka :1. Menurut madzhab Hanafi, Syafii dan Hambali, jumlah salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir.2. Menurut madzhab Maliki, jumlah salat tarawih adalah 36 (tigapuluh enam) rakaat, karena mengikuti sunnah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Adapun orang yang melakukan salat tarawih 8 (delapan) rakaat dengan witir 3 (tiga) rakaat, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:
َما كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَــــانَ وَلاَ فِى غَــيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً ، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْــاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَــلِّى ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَـــــنَامُ قَلْبِى . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
“Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Kemudian aku (Aisyah) bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum salat witir?” Beliau bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur.”
Syekh Muhammad bin ‘Allan dalam kitab “Dalilul Falihin” jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang salat witir, karena salat witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak menambah salat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas rakaat. Sedangkan salat tarawih atau “qiyamu Ramadlan” hanya ada pada bulan Ramadlan saja.Ucapan Aisyah “beliau salat empat rakaat dan Anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya”, tidaklah berarti bahwa beliau melakukan salat empat rakaat dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَاَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ .
“Salat malam itu (dilakukan) dua rakaat dua rakaat, dan jika kamu khawatir akan subuh, salatlah witir satu rakaat”.Dalam hadits lain yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَ يُوْتِرُ بِرَكْعَةٍ
.“Adalah Nabi saw. melakukan salat dari waktu malam dua rakaat dua rakaat, dan melakukan witir dengan satu rakaat”.
Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, salat tarawih dilaksanakan pada waktu tengah malam, namanya bukan salat tarawih, melainkan “qiyamu Ramadlan” (salat pada malam bulan Ramadlan).
Nama “tarawih” diambil dari arti “istirahat” yang dilakukan setelah melakukan salat empat rakaat. Disamping itu perlu diketahui, bahwa pelaksanaan salat tarawih di Masjid al-Haram, Makkah adalah 20 rakaat dengan dua rakaat satu salam.
Almarhum K.H. Ali Ma’sum Krapyak, Yogyakarta dalam bukunya berjudul “Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jamaah” halaman 24 dan 40 menerangkan tentang “Salat Tarawih” yang artinya kurang lebih sebagai berikut:• Salat tarawih, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Salat tarawih menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafii, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah 20 rakaat. Salat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafii, Hambali, dan Maliki.• Menurut madzhab Syafii dan Hambali, salat tarawih disunnahkan untuk dilakukan secaran berjamaah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnah), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya sunnah kifayah bagi penduduk kampung. Dengan demikian apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berjamaah, maka lainnya gugur dari tuntutan.• Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan salat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad saw. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا ، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِــــهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِــــمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى ، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ .“
Nabi saw. keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga salat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah”.
Dari hadits ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw. telah mensunnahkan salat tarawih dan berjamaah. Akan tetapi beliau tidak melakukan salat dengan para sahabat sebanyak 20 rakaat sebagaimana amalan yang berlaku sejak zaman sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai sekarang.Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. keluar sesudah tengah malam pada bulan Ramadlan dan beliau melakukan salat di masjid. Para sahabat lalu melakukan salat dengan beliau. Pada pagi harinya para sahabat memperbincangkan salat mereka dengan Rasulullah saw., sehingga pada malam kedua orang bertambah banyak. Kemudian Nabi saw. melakukan salat dan orang-orang melakukan salat dengan beliau. Pada malam ketiga tatkala orang-orang bertambah banyak sehingga masjid tidak mampu menampung para jamaah, Rasulullah saw. tidak keluar untuk jamaah, hingga beliau keluar untuk melakukan salat subuh. Setelah salat subuh, beliau menemui para jamaah dan bersabda, “Sesungguhnya tidaklah dikhawatirkan atas kepentingan kalian tadi malam; akan tetapi aku takut apabila salat malam itu diwajibkan atas kamu sekalian, sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya!”.Setelah Rasulullah saw. wafat keadaan berjalan demikian sampai pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. beliau mengumpulkan orang-orang laki-laki untuk berjamaah salat tarawih dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab dan orang-orang perempuan berjamaah dengan diimami oleh Usman bin Khatsamah. Oleh karena itu Khalifah Usman bin Affan berkata pada masa pemerintahan beliau, “Semoga Allah menerangi kubur Umar sebagaimana Umar telah menerangi masjid-masjid kita”. Yang dikehendaki oleh hadits ini adalah bahwa Nabi saw. keluar dalam dua malam saja.Menurut pendapat yang masyhur adalah bahwa Rasulullah saw. keluar pada para sahabat untuk melakukan salat tarawih bersama mereka tiga malam yaitu tanggal 23, 25, dan 27, dan beliau tidak keluar pada malam 29. Sesungguhnya Rasulullah saw tidak keluar tiga malam berturut-turut adalah karena kasihan kepada para sahabat. Beliau salat bersama para sahabat delapan rakaat; tetapi beliau menyempurnakan salat 20 rakaat di rumah beliau dan para sahabat menyempurnakan salat di rumah mereka 20 rakaat, dengan bukti bahwa dari mereka itu didengar suara seperti suara lebah. Nabi saw. tidak menyempurnakan bersama para sahabat 20 rakaat di masjid adalah karena kasihan kepada mereka.Dari hadits ini menjadi jelas, bahwa jumlah salat tarawih yang mereka lakukan tidak terbatas hanya delapan rakaat, dengan bukti bahwa mereka menyempurnakannya di rumah-rumah mereka. Sedangkan pekerjaan Khalifah Umar ra. telah menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20, pada saat Umar ra. mengumpulkan orang-orang di masjid dan para sahabat menyetujuinya tak seorangpun dari para Khulafa’ur Rasyidun yang berbeda dengan Umar. Mereka terus menerus melakukan salat tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ
Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafa ar-Rasyidun yang telah mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham (berpegang teguhlah kamu sekalian pada sunnah-sunnah tersebut). HR Abu DawudNabi Muhammad saw. juga bersabda sebagai berikut:
اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ
Ikutlah kamu sekalian dengan kedua orang ini sesudah aku mangkat, yaitu Abu Bakar dan Umar”. HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay dan Tamim ad-Daari melakukan salat tarawih bersama orang-orang sebanyak 20 rakaat. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang sahih, bahwa mereka melakukan salat tarawih pada masa pemerintahan Umar bin Khattab 20 rakaat, dan menurut satu riwayat 23 rakaat. Pada masa pemerintahan Usman bin Affan juga seperti itu, sehingga menjadi ijmak.
Dalam satu riwayat, Ali bin Abi Talib ra. mengimami dengan 20 rakaat dan salat witir dengan tiga rakaat.Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau menjelaskan, “Salat tarawih adalah sunnah muakkadah. Umar ra. tidak menentukan bilangan 20 rakaat tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid’ah. Beliau tidak memerintahkan salat 20 rakaat, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah saw.”Khalifah Umar bin Khattab ra. telah membuat sunnah dalam hal salat tarawih ini dan telah mengumpulkan orang-orang dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab, sehingga Ubay bin Ka’ab melakukan salat tarawih secara berjamaah, sedangkan para sahabat mengikutinya. Di antara para sahabat yang mengikuti pada waktu itu terdapat Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, ‘Abbas dan puteranya, Thalhah, az-Zubayr, Mu’adz, Ubay dan para sahabat Muhajirin dan sahabat Ansor lainnya ra. Pada waktu itu tak seorangpun dari para sahabat yang menolak atau menentangnya, bahkan mereka membantu dan menyetujuinya serta memerintahkan hal tersebut. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. bersabda:
أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ.
“Para sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Dengan siapa saja dari mereka kamu ikuti, maka kamu akan mendapatkan petunjuk”.Memang, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu beliau mengikuti orang Madinah, bilangan salat tarawih ditambah dan dijadikan 36 rakaat. Akan tetapi tambahan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan keutamaan dengan penduduk Makkah; karena penduduk Makkah melakukan thawaf di Baitullah satu kali sesudah salat empat rakaat dengan dua kali salam. Maka Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu mengimami para jamaah berpendapat untuk melakukan salat empat rakaat dengan dua kali salam sebagai ganti dari thawaf.Ini adalah dalil dari kebenaran ijtihad dari para ulama dalam menambahi ibadah yang telah disyariatkan. Sama sekali tidak perlu diragukan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk melakukan salat sunnah semampu mungkin pada waktu malam atau siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan salat.Pengarang kitab “Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib al-Arbaah” menyatakan bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat menurut semua imam madzhab kecuali witir.Dalam kitab “Mizan” karangan Imam asy-Sya’rani halaman 148 dinyatakan bahwa termasuk pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafii, dan Ahmad, salat tarawih adalah 20 rakaat. Imam asy-Syafii berkata, “20 rakaat bagi mereka adalah lebih saya sukai!”. Sesungguhnya salat tarawih secara berjamaah adalah lebih utama. Imam Malik dalam salah satu riwayat menyatakan bahwa salat tarawih adalah 36 rakaat.Dalam kitab “Bidayah al-Mujtahid” karangan Imam Qurthubi juz I halaman 21 diterangkan bahwa salat tarawih yang Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang untuk melakukannya secara berjamaah adalah disukai; dan mereka berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat yang dilakukan orang-orang pada bulan Ramadlan. Imam Malik dalam salah satu dari kedua pendapat beliau, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal memilih 20 rakaat selain salat witir.Pada pokoknya Imam Madzhab Empat tersebut memilih bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa salat tarawih adalah 8 (delapan) rakaat adalah menyalahi dan menentang terhadap apa yang telah mereka pilih. Sebaiknya pendapat orang ini dibuang dan tidak usah diperhatikan, karena tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu golongan yang selamat, yang mengikuti sunnah Rasulullah saw. dan para sahabat beliau.Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa salat tarawih delapan rakaat adalah berdasarkan hadits Aisyah ra. sebagaimana disebutkan di muka.Hadits tersebut tidak sah untuk dijadikan dasar salat tarawih, karena maudlu’ dari hadits tersebut yang nampak jelas adalah salat witir. Sebagaimana kita ketahui, salat witir itu paling sedikit adalah satu rakaat dan paling banyak adalah sebelas rakaat. Rasulullah saw. pada waktu sesudah tidur melakukan salat empat rakaat dengan dua salam tanpa disela, lalu melakukan salat empat rakaat dengan dua salam tanpa disela, kemudian melakukan salat tiga rakaat dengan dua salam juga tanpa disela. Hal ini menunjukkan bahwa hadits Aisyah ra. adalah salat witir:1. Ucapan Aisyah, “Apakah Engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?” Sesungguhnya salat tarawih itu dikerjakan sesudah salat isyak dan sebelum tidur.2. Sementara itu salat tarawih tidak didapati pada selain bulan Ramadlan.Dengan demikian tidak ada dalil yang menentang kebenaran salat tarawih 20 rakaat. Imam al-Qasthalani dalam kitab “Irsyad as-Sari” syarah dari Sahih Bukhari berkata, “Apa yang sudah diketahui, yaitu yang dipakai oleh “jumhur ulama” adalah bahwa bilangan/ jumlah rakaat salat tarawih 20 rakaat dengan sepuluh kali salam, sama dengan lima kali tarawih yang setiap tarawih empat rakaat dengan dua kali salam selain witir, yaitu tiga rakaat.Dalam Sunan al-Baihaqiy dengan isnad yang sahih sebagaimana ucapan Zainuddin al-Iraqi dalam kitab “Syarah Taqrib”, dari as-Sa’ib bin Yazid ra. katanya, “Mereka (para sahabat) melakukan salat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. pada bulan Ramadlan dengan 20 rakaat.Imam Malik dalam kitab “Al-Muwaththa” meriwayatkan dari Yazid bin Rauman katanya, “Orang-orang pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra. melakukan salat dengan 23 rakaat. Imam al-Baihaqi telah mengumpulkan kedua riwayat tersebut dengan menyebutkan bahwa mereka melakukan witir tiga rakaat. Para ulama telah menghitung apa yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab sebagai ijmak.Perlu kita ketahui bahwa salat tarawih adalah dua rakaat satu salam, menurut madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam hal ini madzhab Syafii berpendapat bahwa wajib dari setiap dua rakaat; sehingga jika seseorang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, maka hukumnya tidak sah”.Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bawa disunnahkan melakukan salam pada akhir setiap dua rakaat. Jika ada orang yang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, dan dia duduk pada permulaan setiap dua rakaat, maka hukumnya sah tetapi makruh. Jika tidak duduk pada permulaan setiap dua rakaat maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para imam madzhab”.Adapun madzhab Syafii berpendapat bahwa wajib melakukan salam pada setiap dua rakaat. Jika orang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, hukumnya tidak sah; baik dia duduk atau tidak pada permulaan setiap dua rakaat. Jadi menurut para ulama Syafiiyyah, salat tarawih harus dilakukan dua rakaat dua rakaat dan salam pada permulaan setiap dua rakaat.Adapun ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang melakukan salat empat rakaat dengan satu salam, maka empat rakaat tersebut adalah sebagai ganti dari dua rakaat menurut kesepakatan mereka. Jika seseorang melakukan salat lebih dari empat rakaat dengan satu salam, maka keabsahannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat sebagai ganti dari rakaat yang genap dari salat tarawih, dan ada yang berpendapat tidak sah”.Para ulama dari madzhab Hambali berpendapat bahwa salat seperti tersebut sah tetapi makruh dan dihitung 20 rakaat. Sedangkan para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa salat yang demikian itu sah dan dihitung 20 rakaat. Orang yang melakukan salat demikian adalah orang yang meninggalkan kesunnahan tasyahhud dan kesunnahan salam pada setiap dua rakaat; dan yang demikian itu adalah makruh”.Rasulullah saw. bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِــــــدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ عَبْدِ اللّهِ ابْنِ عُمَرَ .
“Salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kamu sekalian khawatir akan subuh, maka dia salat satu rakaat yang menjadi witir baginya dari salat yang telah dilakukan”.
Hal yang menunjukkan bahwa bilangan salat tarawih 20 rakaat selain dari dalil-dalil tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan at-Thabrani dari jalan Abu Syaibah bin Usman dari al-Hakam dari Muqassim dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. telah melakukan salat pada bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir.
*Pemakalah:* Drs. K.H. Achmad Masduqi Machfudh

Risalah Shalat Tarawih 1

34 hari lagi Insya Allah kita akan kedatangan bulan mulia, bulan Ramadhan. Agar lebih punya persiapan khususnya dalam masalah tarawih, beberapa bahasan dari beberapa situs yang ada akan coba ana posting. Selamat menikmati...
Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang menjalankan shalat jama’ah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nahdliyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam.

Begitu shalat sunnah rawatib setelah isya` (ba’diyah) usai dikerjakan, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dikerjakan, “Marilah shalat Tarawih berjama’ah!” Imam pun maju ke depan, dan sudah dapat ditebak surat yang dibaca setelah al-Fatihah ialah surat at-Takatsur.

Bacaan seperti ini sudah menjadi ciri khusus masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Juga sudah dapat ditebak bahwa rakaat kedua setelah al-Fatihah tentu sura Al-Ikhlash. Setelah usai 2 rakaat, ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan “bilal” dan dijawab oleh segenap kaum muslimin.

Begitu shalat tarawih sampai rakaat kedua puluh, bacaan surat sesudah al-Fatihah tentu sudah sampai ke surat al-Lahab dan al-Ikhlash. Tinggal shalat witirnya yang biasa dilakukan 2 rakaat, dan yang kedua satu rakaat, imam biasanya memilih surat al-A’la dan al-Kafirun.

Para imam Tarawih NU umumnya memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: “Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan..” Maka, 23 rakaat umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.

Lain halnya shalat di Masjidil Haram, Makah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur’an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur’an. Setiap malam harus diselesaikan kira-kira 1 juz lebih, dengan diperkirakan pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke 29 Ramadhan itulah ada tradisi khataman Al-Qur’an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram. Bahkan, di rakaat terakhir imam memanjatkan doa yang menurut ukuran orang Indonesia sangat panjang sebab doa itu bisa sampai 15 menit, doa yang langka dilakukan seorang kiai dengan waktu sepanjang itu, meski di luar shalat sekalipun.

Dan terpapar di kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaat dan 3 rakaat Witir.

Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, hlm 54 disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat.
Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).

Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketiga tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:

خَشِيْتُ أَنْ تَفَرَّضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُطِيْقُونَهَا
“Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”

Hadits ini disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan rakaatnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)

KH MUnawwir Abdul FattahPesantren Krapyak Yogyakarta
Sumber http://www.nu.or.id

Rabu, 05 Mei 2010

Qashidah Burdah

Di akhir ta'lim kita juga senantiasa membaca qashidah budah dengan iringan hadroh oleh team hadroh "Nurul Ishlah" pimpinan Ust. Andi. Perlu juga bagi kita mendapat sekilas informasi tentang burdah, inilah infonya:
Membaca shalawat merupakan ungkapan kecintaan seseorang kepada kanjeng Nabi Muhammad. Kegiatan ini di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, banyak dilakukan dalam bentuk ritual keagamaan. Sementara di wilayah perkotaan negeri ini, shalawat banyak dijadikan lirik dalam tembang religius, sebagaimana tampak marak akhir-akhir ini. Dan setiap tahun, masyarakat Muslim Indonesia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dengan menyenandungkan shalawat bersama-sama. Itu semua merupakan ekspresi kecintaan umat Muslim terhadap Sang Nabi Terakhir.

Salah satu ritual pembacaan shalawat yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah membaca Kasidah Burdah, atau yang biasanya disebut burdahan. Di pesantren-pesantren, Kasidah Burdah dibaca secara rutin setiap malam jum’at atau malam senen. Tidak hanya itu, di kala sedang mengadakan hajatan atau sedang menghadapi situasi kritis, Kasidah Burdah biasanya dibacakan dengan harapan bisa mencegah malapetaka dan marabahaya.

Namun, meskipun Kasidah Burdah dibaca dengan begitu marak dan antusias di negeri ini, jarang sekali ada yang membacanya secara historis dan kritis. Padahal, jika kita telusuri sejarahnya, syair-syair yang sarat nilai sastra ini tidak berangkat dari ruang kosong.Kasidah Burdah adalah sekumpulan syair tentang sejarah hidup Nabi Muhammad hasil gubahan seorang pujangga Mesir abad ke-13, Muhammad ibn Sa‘îd al-Bûshîrî (w. 1295). Nama asli kumpulan syair ini adalah Al-Kawâkib ad-Durriyyah fî Madh Khair al-Bariyyah (Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik). Namun, selanjutnya nama Burdah menjadi lebih dikenal luas karena sejarah pembuatannya yang terkesan spektakuler.

Alkisah, Al-Bûshîrî berinisiatif menggubah syair-syair pujian di kala dia terterpa musibah penyakit yang membuatnya harus berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan. Beberapa dokter yang didatangkan tidak mampu menyembuhkannya. Inisiatif ini muncul sebagai doa perantara demi kesembuhannya. Beberapa saat setelah gubahannya selesai, dia bermimpi didatangi Nabi Muhammad. Nabi mengusap-usap rambutnya dan menyelimutinya dengan burdah (baju hangat yang terbuat dari kulit binatang) yang biasa dipakai Nabi. Karena mimpinya ini, Al-Bûshîrî menjdi sembuh total dan esoknya dia bisa keluar rumah dengan segar bugar.

Burdah milik Nabi itu sendiri memiliki kisah historis yang panjang dan penting, sehingga memperkuat alasan kenapa nama Burdah lebih populer ketimbang nama aslinya.. Adalah Ka‘b ibn Zuhair (w. 662) yang pertama kali mendapatkannya dari Nabi sebagai hadiah atas syair-syair pujiannya terhadap Nabi Muhammad dan Islam setelah berkali-kali mencerca Nabi dan para pengikutnya. Setelah dia meninggal dunia, khalifah pada saat itu, Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân (w. 680), membelinya dari ahli waris Ka‘b dan memakainya pada setiap upacara resmi kenegaraan. Tradisi memakai burdah milik Nabi oleh para khalifah tersebut terus berlanjut hingga masa khalifah Utsmani. Dan setelah kekhalifahan Turki Utsmani runtuh, burdah Nabi tersebut disimpan di museum Topkavi di Istambul, Turki.

Di Indonesia, selain Burdah masih banyak kumpulan syair pujian terhadap Nabi Muhammad yang juga dilantunkan dalam ritual-ritual pembacaan shalawat, seperti Barzanji dan Diba’i. Namun, Burdah dianggap istimewa karena keunikannya dalam beberapa hal. Pertama, syair Burdah dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali penggubahan syair-syair pujian terhadap Nabi Muhammad. Kedua, syair Burdah memiliki kualitas sastra tingkat tinggi dan sarat pesan-pesan etis. Ketiga, syair Burdah tidak sekedar menyajikan sejarah Nabi Muhammad, namun juga memberikan beragam ajaran tasawuf dan pesan moral yang cukup mendalam. Dan keempat, syair Burdah dipercaya memiliki kekuatan magis, sehingga tidak jarang ia dibacakan pada saat ada hajatan tertentu, seperti hajatan membangun rumah.

Keistimewaan Kasidah Burdah ini diperkuat dengan kenyataan bahwa, selain mengundang banyak budayawan Muslim untuk memberikan komentar (syarh), popularitasnya mampu menembus perhatian para pemerhati sastra di Eropa. Hingga saat ini, syair-syair cinta Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa India, Pakistan, Persia, Turki, Punjabi, Swahili, Urdu, Indonesia, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman dan Italia.

Sumber : http://raudlatululum1.com/?p=453 dari “Burdah; Antara Kasidah, Mistis dan Sejarah, Muhammad Adib, Pustaka Pesantren (Kelompok Penerbit LKiS)

Syaikh Umar bin Achmad Baradja

Di antara isi ta'lim kita adalah mengkaji kitab "Al-Akhlaq lil Banin" yang disampaikan oleh Ust. Muhammad Safari S.ST. Kitab ini adalah kitab yang dikarang oleh Al-Maghfurlah Syaikh Umar Achmad Baradja, agar lebih mencintai kitab dan pengarangnya perlu bagi kita untuk mengenal beliau lebih dalam. Inilah manaqib (riwayat hidup) beliau:

Syeikh Umar bin Achmad Baradja

Mengukir Akhlaq Para Santri

Hampir semua santri di pesantren pernah mempelajari buku-buku karya Syaikh Umar Baraja dari Surabaya. Sudah sekitar 11 judul buku yang diterbitkan, seperti Al-Akhlaq Lil Banin, kitab Al-Akhlaq Lil Banat, kiab Sullam Fiqih, kitab 17 Jauharah, dan kitab Ad’iyah Ramadhan. Semuanya terbit dalam bahasa Arab, sejak 1950 telah digunakan sebagai buku kurikulum di seluruh pondok pesantren di Indonesia. Ya, secara tidak langsung Syaikh Umar Baradja ikut mengukir akhlaq para santri di Indonesia.

Buku-buku tersebut pernah di cetak Kairo, Mesir, pada 1969 atas biaya Syeikh Siraj Ka’ki, dermawan Mekkah, yang di bagikan secara cuma-cuma ke seluruh dunia Islam. Syukur alhamdulillah, atas ridha dan niatnya agar buku-buku ini menjadi jariyah dan bermanfaat luas, pada 1992 telah di terbitkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia, Jawa, Madura, dan Sunda.

Selain menulis buku pelajaran , Syaikh Umar juga menulis syair-syairnya dalam bahasa Arab dengan sastranya yang tinggi. Menurut ustadz Ahmad bin Umar, putra tertuanya, cukup banyak dan belum sempat dibukukan. Selain itu, masih banyak karya lain, seperti masalah keagamaan, yang masih bertuliskan tangan dan tersimpan rapi dalam perpustakaan keluarga.

Kepandaiannya dalam karya tulis, disebabkan dia menguasai bahasa Arab dan sastranya, ilmu tafsir dan Hadits, ilmu fiqih dan tasawuf, ilmu sirah dan tarikh. Ditambah, penguasaan bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Selalu Berharap

Syaikh Umar bin Achmad Baradja lahir di kampung Ampel Maghfur, pada 10 Jumadil Akhir 1331 H/17 Mei 1913 M. Sejak kecil dia diasuh dan dididik kakeknya dari pihak ibu, Syaikh Hasan bin Muhammad Baradja , seoarang ulama ahli nahwu dan fiqih.

Nasab Baradja berasal dari (dan berpusat di) Seiwun, Hadramaut, Yaman. Sebagai nama nenek moyangnya yang ke-18, Syaikh Sa’ad, laqab (julukannya) Abi Raja’ (yang selalu berharap). Mata rantai keturunan tersebut bertemu pada kakek Nabi Muhammad SAW yang kelima , bernama Kilab bin Murrah.

Pada masa mudanya, Umar Baradja menuntut ilmu agama dan bahasa Arab dengan tekun, sehingga dia menguasai dan memahaminya. Berbagai ilmu agama dan bahasa Arab dia dapatkan dari ulama, ustadz, syaikh, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui surat. Para alim ulama dan orang-orang shalih telah menyaksikan ketaqwaan dan kedudukannya sebagai ulama yang ‘amil. Ulama yang mengamalkan ilmunya.

Dia adalah salah seorang alumnus yang berhasil, didikan madrasah Al-Khairiyah di kampung Ampel, Surabaya, yang didirikan dan dibina Al-habib Al-Imam Muhammad bin Achmad Al-Muhdhar pada 1895. Sekolah yang berasaskan Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i.

Guru-guru Syaikh Umar Baradja, antara lain, Al-Ustadz Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih (Malang), Al-Ustadz Muhammad bin Husein Ba’bud (Lawang), Al-Habib Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Abdullah Assegaf (Solo), Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Jufri (Pekalongan), Al-Habib Ali bin Husein Bin Syahab, Al-Habib Zein bin Abdullah Alkaf (Gresik), Al-Habib Ahmad bin Ghalib Al-Hamid (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhar (Bondowoso), Al-Habib Abdullah bin Hasa Maulachela, Al-Habib Hamid bin Muhammad As-Sery(Malang), Syaikh Robaah Hassunah Al-Kholili (Palestina), Syaikh Muhammad Mursyid (Mesir) – keduanya tugas mengajar di Indonesia.

Guru-gurunya yang berada di luar negeri diantaranya, Al-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, As-Sayyid Muhammad bin Ami n Al-Quthbi, As-Syaikh Muhmmad Seif Nur, As-Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, Al-Habib Alwi bin Salim Alkaff, As-Syaikh Muhammad Said Al-Hadrawi Al-Makky (Mekkah), Al-Habib Muhammad bin Hady Assegaf(Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Ahmad Al-Haddar, Al-Habib Hadi bin Ahmad Al-Haddar (‘inat, Hadramaut, Yaman) , Al-habib Abdullah bin Thahir Al-Haddad (Geidun, Hadaramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiri (Tarim, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Hasan bin Ismail Bin Syeikh Abu Bakar (‘inat, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Ali bin Zein Al-Hadi, Al-Habib Alwi bin Abdullah Bin Syahab (Tarim, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Hamid Assegaf (Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar (Al-Baidhaa, Yaman) , Al-Habib Ali bin Zein Bilfagih (Abu Dhabi, Uni Emirat Arab), As-Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthii’i (Mesir), Sayyidi Muhammad Al-Fatih Al-Kattani (Faaz, Maroko), Sayyidi Muhammad Al-Munthashir Al-Kattani (Marakisy, Maroko) , Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad (Johor, Malaysia), Syeikh Abdul ‘Aliim As-Shiddiqi (India), Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (Mesir), Al-Habib Abdul Qodir bin Achmad Assegaf (Jeddah, Arab Saudi).

Salah satu kitabnya, Kitab Al-Akhlaq lil Banin. Digunakan di seluruh pondok pesantren

Kiprah Dakwah

Syaikh Umar mengawali kariernya mengajar di Madrasah Al-Khairiyah Surabaya tahun 1935-1945, yang berhasil menelurkan beberapa ulama dan asatidz yang telah menyebar ke berbagai pelosok tanah air. Di Jawa Timur antara lain, almarhum al-ustadz Achmad bin Hasan Assegaf, almarhum Al-Habib Umar bin Idrus Al-Masyhur, almarhum al-ustadz Achmad bin Ali Babgei, Al-habib Idrus bin Hud Assegaf, Al-habib Hasan bin Hasyim Al-Habsyi, Al-habib Hasan bin Abdul Qodir Assegaf, Al-Ustadz Ahmad Zaki Ghufron, dan Al-Ustadz Dja’far bin Agil Assegaf.
Kemudian, dia pindah mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, Bondowoso. Berlanjut mengajar di Madrasah Al-Husainiyah, Gresik tahun 1945-1947. Lalu mengajar di Rabithah Al-Alawiyyah, Solo, tahun 1947-1950. Mengajar di Al-Arabiyah Al-Islamiyah, Gresik tahun 1950-1951. Setelah itu, tahun 1951-1957, bersama Al-habib Zein bin Abdullah Al-kaff, memperluas serta membangun lahan baru, karena sempitnya gedung lama, sehingga terwujudlah gedung yayasan badan wakaf yang di beri nama Yayasan Perguruan Islam Malik Ibrahim.

Selain mengajar di lembaga pendidikan, Syaikh Umar juga mengajar di rumah pribadinya, pagi hari dan sore hari, serta majelis ta’lim atau pengajian rutin malam hari. Karena sempitnya tempat dan banyaknya murid, dia berusaha mengembangkan pendidikan itu dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam atas namanya, Al-Ustadz Umar Baradja. Ini sebagai perwujudan hasil pendidikan dan pengalamannya selama 50 tahun. Hingga kini masih berjalan, dibawah asuhan putranya, Al-Utadz Achmad bin Umar Baradja.

Amal ibadahnya meluas ke bidang lain, sehingga memerlukan dana yang cukup besar, dia juga menggalang dana untuk kebutuhan para janda, fakir miskin, dan yatim piatu khususnya para santrinya, agar mereka lebih berkonsentrasi dalam menimba ilmu. Menjodohkan wanita-wanita muslimah dengan pria muslim yang baik menurut pandangannya, sekaligus mengusahakan biaya perkawinannya dengan dukungan dana dari Al-habib Idrus bin Umar Alaydrus.

Salah satu karya monumentanya adalah membangun Masjid Al-Khair (danakarya I-48/50, Surabaya) pada tahun 1971, bersama KH. Adnan Chamim, setelah mendapat petunjuk dari Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul) dan Al-habib Zein bin Abdullah Al-Kaff (Gresik). Masjid ini sekarang digunakan untuk berbagai kepentingan dakwah masyarakat Surabaya.
Penamplan Syeikh Umar sangat bersahaja, tetapi dihiasi sifat-sifat ketulusan niat yang disertai keikhlasan dalam segala amal perbuatan duniawi dan ukhrawi. Dia juga mejabarkan akhlaq ahlul bait, keluarga Nabi dan para sahabat, yang mencontoh baginda Nabi Muhammad SAW. Dia tidak suka membangga-banggakan diri, baik tentang ilmu, amal, maupun ibadah. Ini karena sifat tawadhu’ dan rendah hatinya sangat tinggi.

Dalam beribadah, dia selalu istiamah baik sholat fardhu maupun sholat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Sholat dhuha dan tahajud hampir tidak pernah dia tnggalkan walaupun dalam bepergian. Kehidupannya dia usahakan untuk benar-benar sesuai dengan yang digariskan agama.

Cintanya kepada keluarga Nabi SAW dan dzurriyyah atau keturunannya, sangat kenal tak tergoyahkan. Juga kepada para sahabat anak didik Rasulullah SAW. Itulah pertanda keimanan yang teguh dan sempurna.

Dalam buku Kunjungan Habib Alwi Solo kepada Habib Abubakar Gresik, Catatan Habib AbdulKadir bin Hussein Assegaf (Penerbit Putra Riyadi : 2003), disebutkan,”… kami (rombongan Habib Alwi bin Alwi Al-Habsyi) berkunjung ke rumah Syaikh Umar bin Ahmad Baradja (di Surabaya). Kami dengar saking senangnya, ia sujud syukur di kamar khususnya. Ia meminta Sayyidi Alwi untuk membacakan doa dan Fatihah.”(hlm.93).

Sifat wara’-nya sangat tinggi. Perkara yang meragukan dan syubhat dia tinggalkan, sebagaimana meninggalkan perkara-perkara yang haram. Dia juga selalu berusaha berpenampilan sederhana. Sifat Ghirah Islamiyah (semangat membela Islam) dan iri dalam beragama sangat kuat dalam jiwanya. Konsistensinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, misalnya dalam menutup aurat, khususnya aurat wanita, dia sangat keras dan tak kenal kompromi. Dalam membina anak didiknya, pergaulan bebas laki-perempuan dia tolak keras. Juga bercampurnya murid laki-dan perempuan dalam satu kelas.

Pada saat sebelum mendekati ajalnya, Syaikh umar sempat berwasiat kepada putra-putra dan anak didiknya agar selalu berpegang teguh pada ajaran assalaf asshalih. Yaitu ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dianut mayoritas kaum muslim di Indonesia dan Thariqah ‘Alawiyyah, dan bermata rantai sampai kepada ahlul bait Nabi, para sahabat, yang semuanya bersumber dari Rasulullah SAW.

Syaikh Umar memanfaatkan ilmu, waktu, umur, dan membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai akhir hayatnya. Ia memenuhi panggilan Rabb-nya pada hari Sabtu malam Ahad tanggal 16 Rabiuts Tsani 1411 H/3 November 1990 M pukul 23.10 WIB di Rumah Sakit Islam Surabaya, dalam usia 77 Tahun.

Keesokan harinya Ahad ba’da Ashar, ia dimakamkan, setelah dishalatkan di Masjid Agung Sunan Ampel, diimami putranya sendiri yang menjadi khalifah (penggantinya), Al-Ustadz Ahmad bin Umar Baradja. Jasad mulia itu dikuburkan di makam Islam Pegirian Surabaya. Prosesi pemakamannya dihadiri ribuan orang.


Sumber : http://qomarfauzie.wordpress.com/2008/09/13/syaikh-umar-bin-achmad-baradja-surabaya/ dari Majalah alKisah No. 07/Tahun V/26 Maret – 8 April 2007 Hal. 85-89

Jadwal Ta'lim Periode Kedua

9). 25 Rabi'uts Tsani 1431 H/10 April 2010
Musholla Al-Hidayah Rt. 07/08
Ketua Musholla : H. Gani Mulyadi
Koordinator Remaja : ......

10). 3 Jumadil Ula 1431 H/17 April 2010
Musholla Nurul Mukmin Rt. 08/08
Ketua Musholla : Bp. Amur Adisastra
Koordinator Remaja : ......

11). 10 Jumadil Ula 1431 H/24 April 2010
Masjid Jami' Al-Jihad Rt. 09/08
Ketua Masjid : Ust. Saifulloh SH
Koordinator Remaja : Abdurrahim

12). 17 Jumadil Ula 1431 H/1 Mei 2010
Majelis Ta'lim Nurul Islam Rt. 04/08
Ketua Musholla : Bp. Ridwan
Koordinator Remaja : Bp. Ridwan

13). 24 Jumadil Ula 1431 H/8 Mei 2010
Musholla Al-Insyiroh Rt. 01/08
Ketua Musholla : Ust. Nanang Afandi
Koordinator Remaja : ........

14). 2 Jumadits Tsaniyah 1431 H/22 Mei 2010
Masjid Jami' Nurul Huda Rt. 10/08
Ketua Masjid : Ust. H. M. Yusuf HU
Koordinator Remaja : .........

15). 9 Jumadits Tsaniyah 1431 H/29 Mei 2010
Musholla Al-Ikhlas Rt. 05/08
Ketua Musholla : H. Musohur Harahap
Koordinator Remaja : ......

16). 16 Jumadits Tsaniyah 1431 H/5 Juni 2010
Musholla At-Taubah Rt. 11/08
Ketua Musholla : H. Nesan Azhari
Koordinator Remaja : .......

17). 23 Jumadits Tsaniyah 1431 H/12 Juni 2010
Musholla Baitul Khair Rt. 06/08
Ketua Musholla : Bp. Endang H.
Koordinator Remaja : ........

18). 1 Rajab 1431 H/19 Juni 2010
Musholla Nurul 'Amal Rt.13/08
Ketua Musholla : Bp. Muzaini R.
Koordinator Remaja : ........

19). 15 Rajab 1431 H/26 Juni 2010
Musholla Al-Barkah Rt. 14/08
Ketua Musholla : H. Tri Julianto
Koordinator Remaja : .........

Jadwal Ta'lim Periode Pertama

1. 29 Shafar 1431 H/13 Februari 2010
Musholla Al-Hidayah Rt. 07/08
Ketua Musholla : H. Gani Mulyadi

2. 6 Rabi'ul Awwal 1431 H/20 Februari 2010
Musholla Nurul Mukmin Rt. 08/08
Ketua Musholla : Bp. Amur Adisastra

3. 13 Rabi'ul Awwal 1431 H/27 Februari 2010
Masjid Jami' Al-Jihad Rt. 09/08
Ketua Masjid : Ust. Saifulloh SHI

4. 20 Rabi'ul Awwal 1431 H/6 Maret 2010
Musholla Al-Ikhlas Rt. 05/08
Ketua Musholla : H. Musohur Harahap

5. 27 Rabi'ul Awwal 1431 H/13 Maret 2010
Musholla Al-Hidayah Rt. 07/08
Ketua Musholla : H. Gani Mulyadi

6. 4 Rabi'uts Tsani 1431 H/20 Maret 2010
Musholla Nurul Mukmin Rt. 08/08
Ketua Musholla : Bp. Amur Adisastra

7. 11 Rabi'uts Tsani 1431 H/27 Maret 2010
Masjid Jami' Al-Jihad Rt. 09/08
Ketua Musholla : Ust. Saifulloh SHI

8. 18 Rabi'uts Tsani 1431 H/3 April 2010
Musholla At-Taubah Rt. 11/08
Ketua Musholla : H. Nesan Azhari

Selasa, 04 Mei 2010

Indonesiana, Masya Allah

Sahabat, ingat tausiyah yang disampaikan oleh Ust. Nanang Afandi tanggal 1 Mei kemarin??, di antaranya kita harus rajin membaca; kalam dan alam. Kalam tidak lain adalah Al-Qur'an, hadits Nabi, kitab-kitab ulama, dan buku-buku ilmu pengetahuan. Alam tidak lain adalah yang kita saksikan selama ini, keindahannya, sifat luarbiasanya, dan lain-lainnya yang tentunya bisa membuat kita jadi semakin merasakan kebesaran Allah SWT yang sudah menciptakan semuanya sehingga mulut kita akan berucap "Masya Allah, alangkah indahnya...". Indonesiana (Indonesia kita) adalah surga khatulistiwa yang alamnya luar biasa indah. Ini di antaranya:

1. Danau Toba, Sumatera Utara

2. Danau Gunung Tujuh, Jambi

3. Pulang Belitung, Bangka Belitung

4. Gunung Bromo, Jawa Timur

Kamis, 29 April 2010

Ta'lim Remaja 08 Rutin Malam Ahad

Alhamdulillah, hari Sabtu yang lalu 24 April 2010 di Masjid Al-Jihad telah dilaksanakan ta'lim rutin bagi remaja yang ke-sebelas. Ta'lim seperti ini pada awalnya hanyalah sebuah mimpi dan itulah kelebihannya, bermimpilah, bercita-citalah, maka Anda akan menuju apa yang Anda mimpikan.

Pemikiran untuk mengadakan ta'lim telah diperbincangkan bahkan sejak tahun yang lalu oleh para Asatidz yang aktif pada shalat shubuh berjamaah gabungan Rw.08. Dan baru terwujud sejak bulan Februari tanggal 13.

Secara bertahap kegiatan sudah mulai menemukan modelnya, yakni dimulai dengan pembacaan salawat "Ya Rasulullah Salamun 'alaik...", shalawat dustur, pembacaan fatihah dan doa belajar, pembacaan kitab Al-Akhlaq lil Banin karangan Syekh Umar Baraja, jawaban pertanyaan jamaah yang disampaikan lewat facebook dan sms, tausiyah dari Asatidz yang hadir, pembacaan qashidah Al-Burdah karangan Syekh Al-Bushiri (5 pasal) diiringi oleh team hadroh Nurul Ishlah pimpinan Ust. Andi, dan ditutup dengan doa.

Sederhana, memang...tapi semoga yang sederhana ini bisa mewarnai kehidupan remaja khususnya yang ada di lingkungan Rw.08 agar lebih dekat lagi dengan sentuhan-sentuhan agama. Sesuai dengan motto ta'lim ini "Syubbaanul Aan Rijaalul Ghod : pemuda sekarang adalah pemimpin masa depan".

Selasa, 06 April 2010

Bagian-bagian Al-Qur'an

Al-Qur'an Al-Karim terbagi menjadi 114 surat, surat terpanjang adalah Al-Baqarah terdiri atas 286 ayat dan surat terpendek adalah Al-Kautsar terdiri atas 3 ayat.
Jumlah ayat Al-Qur'an terdapat perbedaan di antara para ulama di antaranya ada yang mengatakan 6.236 ayat dan ada juga yang mengatakan 6.666 ayat.
Para Ulama kemudian juga membagi Al-Qur'an menjadi 30 juz yang sama panjang dan dalam 60 hizib.
Tiap Hizib dibagi lagi menjadi ar-rub'u (1/4), an-nishfu (1/2), dan ats-tsultsu (1/3).
Ada juga yang membagi menjadi 554 ruku' yang ditandai dengan huruf 'ain di pinggir halaman Al-Qur'an. Pada surat yang panjang terdapat beberapa ruku' dan pada surat yang pendek terdapat satu ruku'.
Nishful Qur'an (pertengahan Al-Qur'an) terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 yakni pada ayat "wal yatalattof...".
Bila kita membaca/menghafal Al-Qur'an dengan pembagian seperti berikut ini maka kita akan khatam pada:
  1. 1 ayat perhari maka akan khatam selama 17 tahun 7 bulan 17 hari
  2. 2 ayat perhari maka akan khatam selama 8 tahun 9 bulan 18 hari
  3. 3 ayat perhari maka akan khatam selama 5 tahun 10 bulan 13 hari
  4. 4 ayat perhari maka akan khatam selama 4 tahun 4 bulan 24 hari
  5. 5 ayat perhari maka akan khatam selama 3 tahun 6 bulan 7 hari
  6. 6 ayat perhari maka akan khatam selama 2 tahun 11 bulan 4 hari
  7. 7 ayat perhari maka akan khatam selama 2 tahun 6 bulan 3 hari
  8. 8 ayat perhari maka akan khatam selama 2 tahun 2 bulan 12 hari
  9. 9 ayat perhari maka akan khatam selama 1 tahun 11 bulan 12 hari
  10. 10 ayat perhari maka akan khatam selama 1 tahun 9 bulan 3 hari
  11. Setengah halaman perhari maka akan khatam selama 3 tahun 4 bulan 24 hari
  12. 1 halaman perhari maka akan khatam selama 1 tahun 8 bulan 12 hari
  13. 2 halaman perhari maka akan khatam selama 10 bulan 6 hari
  14. 1 ruku'/'ain perhari maka akan khatam selama 18 bulan 23 hari
  15. 1 hizib perhari maka akan khatam selama 1 bulan 1 hari
  16. 1 juz perhari maka akan khatam selama 30 hari atau 1 bulan

catatan: hitungan dengan bulan hijriah (selang-seling 30 dan 29 hari)