Selasa, 16 November 2010

Puasa Arafah II

Menyatukan Perbedaan Rukyatul Hilal

Untuk menentukan awal Ramadhan ada dua macam caranya, yakni Rukyatul Hilal dan Ilmu Falaq, yang masing-masing dari keduanya merupakan sama-sama termasuk Ilmu Pasti. Walaupun sama-sama umat Islam, sama-sama melakukan ibadah pada bulan yang sama, dan sama-sama melakukan metode yang sama, tetapi kadang-kadang terdapat perbedaan dalam menentukan awal dari Ramadhan. Segolongan umat sudah mulai melakukan puasa, sedangkan golongan yang lain belum. Seolah-olah umat ini tidak satu.

Masalahnya, dalam penentuan awal Ramadhan ini kadang-kadang orang-orang kita ada semacam ingin mempunyai ciri-ciri khusus yang ingin dikedepankan. Katakanlah ada pihak-pihak tertentu di Indonesia ini yang ingin namanya dikenal dan sebagainya. Sehingga dia mencoba untuk Ijtihad sendiri tanpa mau memahami hadits dan Ijtihad-ijtihad orang lain. Itulah yang menjadi permasalahan, perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan juga syawal.

Di Negara Islam seperti di Saudi dan lain-lain, semuanya kompak. Artinya penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya Iedul Fitri itu tidak masing-masing seperti di Indonesia ini. Dan memang sudah jelas dalam Islam, sekiranya tanggal 29 itu memang belum nampak karena disebabkan mendung atau hujan dan sebab lain, maka dalam ini harus disempurnakan bulan Syakban menjadi 30 hari. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan, kalau langit terjadi mendung atau karena sebab lain yang menyebabkan tidak bisa melihat bulan maka sempurnakanlah 30 hari. Karena bulan didalam Islam itu minimal 29 hari, dan maksimal 30 hari. Tidak ada 28 ataupun 31 hari. Kaidah ini sebenarnya cukup mudah, tapi karena tadi ingin mempunyai ciri khusus di bagiannya atau golongannya sehingga terjadi seperti itu.

Dalam penentuan awal ramadhan atau Syawal ini sebenarnya yang lebih cocok dan berwewenang adalah pemerintah. Artinya bukan masing-masing. Kita kiaskan saja seperti dalam pelaksanaan hukuman misalnya, kalau ada orang yang melihat ada orang yang berbuat zina, kemudian cukup juga bukti dan empat orang saksinya yang melihat, bolehkah di kampung itu menyidang orang yang berbuat zina tersebut, yang kemudian menjatuhkan hukuman? Sedangkan sudah barang tentu tidak boleh seperti itu. Tetapi hendaknya menyerahkan kepada pemerintah. Dalam hal ini pemerintah adalah Departemen Agama yang mempunyai wewenang khusus dibidang untuk menentukan hilal tadi.

Seperti NU misalnya, NU juga ada Ijtihad untuk Rukyatul Hilal. Yang lain juga katakanlah Naqsabandy di Indonesia juga ada Ijtihad. Dan masih banyak contoh lain Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Silakan. Dari hasil perhitungan dan Ijtihad itu kemudian sampaikan kepada pemerintah yang mengolah untuk disampaikan kepada masyarakat. Bukan masing-masing mengumumkan hasil Ijtihad diri sendiri.

Kalau kita berpegang pada hadits yang menyebutkan bahwa ; seandainya tanggal 29 itu kita tidak mampu melihat, sempurnakanlah bulan syakban menjadi 30 hari. Maka Insya Allah tidak akan ada khilaf. Nah, kalau bagaimana kalau tidak bisa dilihat itu pada hari ke 30, ya pasti besoknya hari raya. Tapi kalau masih 29 tentu disempurnakan. Selesai sebenarnya masalahnya. Tapi rasanya sulit sekali untuk bisa bersatu.

Kemudian pada hadits lain, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw sangat memperhatikan hari-hari di bulan Ramadhan itu lebih dari pada memperhatikan bulan-bulan yang lain. Jadi, akhir syakban Rasulullah saw sudah mulai mengintai. Nah, kemudian apabila terjadi mendung maka Rasulullah saw menghitungnya bulan syakban 30 hari, baru Rasulullah berpuasa. Kalau kita berpatokan pada hadits seperti ini, Insya Allah tidak akan ada perbedaan atau Khilaf dalam menentukan awal puasa dan Iedul Fitri.

Mengenai terbitnya Hilal memang ada pendapat yang berbeda, artinya dalam menetapkan. Biasanya antara satu Negara dengan Negara lain memang berbeda. Seperti kita di Indonesia ini ada waktu bagian timur, ada waktu bagian tengah dan ada waktu bagian barat. Dengan perbedaan tempat seperti itu bisa saja disuatu daerah kelihatan duluan, dan di daerah lainnya belum. Seperti halnya antara kita Indonesia dengan Makkah, yang mana kita lebih awal 4 jam dari Makkah. Tapi belakangan ini malah di Makkah Ramadhan lebih dulu dari pada kita di Indonesia.

Puasa ‘Arafah misalnya, kita berpuasa ketika orang-orang sedang beribadah di ‘Arafah. Tapi belakangan ini tidak. Mereka sudah berada di ‘Arafah sebelumnya, katakanlah hari ini sudah di ‘Arafah. Kita, baru puasa ‘Arafah besoknya, padahal besoknya disana sudah Iedul Adha. Sementara orang berpikir, ‘Apa tidak dosa hari raya melakukan puasa?’ bagaimana? Kita masih berpuasa, sedangkan orang lain sudah hari raya. Apa kita dianggap berpuasa pada hari raya? Tidak. Karena puasa itu dasarnya adalah Rukyatul Hilal. Atas dasar masuknya tanggal. Jadi bukan karena orang sudah berpuasa, lantas kita ikut puasa.

Sebagai orang yang beriman, kita harus taat pada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Seperti dalam firman-Nya, ‘Tatlah kepada Allah, Taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin diantara kamu’. Maka tidak aka nada lagi perbedaan pendapat mengenai Rukyatul Hilal. Walaupun masing-masing masih dibolehkan berijtihad. Silakan berijtihad. Tetapi hasil dari Ijtihadnya itu diserahkan kepada Ulil Amri atau Pemerintah. Insya Allah dengan seperti ini kita bisa bersatu.

Disampaikan oleh:

Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Cipining ; KH Jamhari Abdul Jalal, Lc.

Pada acara Ifthar Jam’i (Pengajian Sore) guru-guru bujang

Tanggal 30 Agustus 2009 M / 09 Ramadhan 1430 H, Pukul 17.00 WIB

sumber : darunnajah-cipining.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar