Rabu, 05 Mei 2010

Qashidah Burdah

Di akhir ta'lim kita juga senantiasa membaca qashidah budah dengan iringan hadroh oleh team hadroh "Nurul Ishlah" pimpinan Ust. Andi. Perlu juga bagi kita mendapat sekilas informasi tentang burdah, inilah infonya:
Membaca shalawat merupakan ungkapan kecintaan seseorang kepada kanjeng Nabi Muhammad. Kegiatan ini di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, banyak dilakukan dalam bentuk ritual keagamaan. Sementara di wilayah perkotaan negeri ini, shalawat banyak dijadikan lirik dalam tembang religius, sebagaimana tampak marak akhir-akhir ini. Dan setiap tahun, masyarakat Muslim Indonesia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad dengan menyenandungkan shalawat bersama-sama. Itu semua merupakan ekspresi kecintaan umat Muslim terhadap Sang Nabi Terakhir.

Salah satu ritual pembacaan shalawat yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah membaca Kasidah Burdah, atau yang biasanya disebut burdahan. Di pesantren-pesantren, Kasidah Burdah dibaca secara rutin setiap malam jum’at atau malam senen. Tidak hanya itu, di kala sedang mengadakan hajatan atau sedang menghadapi situasi kritis, Kasidah Burdah biasanya dibacakan dengan harapan bisa mencegah malapetaka dan marabahaya.

Namun, meskipun Kasidah Burdah dibaca dengan begitu marak dan antusias di negeri ini, jarang sekali ada yang membacanya secara historis dan kritis. Padahal, jika kita telusuri sejarahnya, syair-syair yang sarat nilai sastra ini tidak berangkat dari ruang kosong.Kasidah Burdah adalah sekumpulan syair tentang sejarah hidup Nabi Muhammad hasil gubahan seorang pujangga Mesir abad ke-13, Muhammad ibn Sa‘îd al-Bûshîrî (w. 1295). Nama asli kumpulan syair ini adalah Al-Kawâkib ad-Durriyyah fî Madh Khair al-Bariyyah (Bintang-bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik). Namun, selanjutnya nama Burdah menjadi lebih dikenal luas karena sejarah pembuatannya yang terkesan spektakuler.

Alkisah, Al-Bûshîrî berinisiatif menggubah syair-syair pujian di kala dia terterpa musibah penyakit yang membuatnya harus berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan. Beberapa dokter yang didatangkan tidak mampu menyembuhkannya. Inisiatif ini muncul sebagai doa perantara demi kesembuhannya. Beberapa saat setelah gubahannya selesai, dia bermimpi didatangi Nabi Muhammad. Nabi mengusap-usap rambutnya dan menyelimutinya dengan burdah (baju hangat yang terbuat dari kulit binatang) yang biasa dipakai Nabi. Karena mimpinya ini, Al-Bûshîrî menjdi sembuh total dan esoknya dia bisa keluar rumah dengan segar bugar.

Burdah milik Nabi itu sendiri memiliki kisah historis yang panjang dan penting, sehingga memperkuat alasan kenapa nama Burdah lebih populer ketimbang nama aslinya.. Adalah Ka‘b ibn Zuhair (w. 662) yang pertama kali mendapatkannya dari Nabi sebagai hadiah atas syair-syair pujiannya terhadap Nabi Muhammad dan Islam setelah berkali-kali mencerca Nabi dan para pengikutnya. Setelah dia meninggal dunia, khalifah pada saat itu, Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân (w. 680), membelinya dari ahli waris Ka‘b dan memakainya pada setiap upacara resmi kenegaraan. Tradisi memakai burdah milik Nabi oleh para khalifah tersebut terus berlanjut hingga masa khalifah Utsmani. Dan setelah kekhalifahan Turki Utsmani runtuh, burdah Nabi tersebut disimpan di museum Topkavi di Istambul, Turki.

Di Indonesia, selain Burdah masih banyak kumpulan syair pujian terhadap Nabi Muhammad yang juga dilantunkan dalam ritual-ritual pembacaan shalawat, seperti Barzanji dan Diba’i. Namun, Burdah dianggap istimewa karena keunikannya dalam beberapa hal. Pertama, syair Burdah dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali penggubahan syair-syair pujian terhadap Nabi Muhammad. Kedua, syair Burdah memiliki kualitas sastra tingkat tinggi dan sarat pesan-pesan etis. Ketiga, syair Burdah tidak sekedar menyajikan sejarah Nabi Muhammad, namun juga memberikan beragam ajaran tasawuf dan pesan moral yang cukup mendalam. Dan keempat, syair Burdah dipercaya memiliki kekuatan magis, sehingga tidak jarang ia dibacakan pada saat ada hajatan tertentu, seperti hajatan membangun rumah.

Keistimewaan Kasidah Burdah ini diperkuat dengan kenyataan bahwa, selain mengundang banyak budayawan Muslim untuk memberikan komentar (syarh), popularitasnya mampu menembus perhatian para pemerhati sastra di Eropa. Hingga saat ini, syair-syair cinta Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa India, Pakistan, Persia, Turki, Punjabi, Swahili, Urdu, Indonesia, Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman dan Italia.

Sumber : http://raudlatululum1.com/?p=453 dari “Burdah; Antara Kasidah, Mistis dan Sejarah, Muhammad Adib, Pustaka Pesantren (Kelompok Penerbit LKiS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar