Selasa, 16 November 2010

Puasa Arafah III

Puasa Tarwiyah dan Arafah
26/12/2006

PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.

Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)

Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.

Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum'at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim). (***Anam)

sumber : NU Online

Puasa Arafah II

Menyatukan Perbedaan Rukyatul Hilal

Untuk menentukan awal Ramadhan ada dua macam caranya, yakni Rukyatul Hilal dan Ilmu Falaq, yang masing-masing dari keduanya merupakan sama-sama termasuk Ilmu Pasti. Walaupun sama-sama umat Islam, sama-sama melakukan ibadah pada bulan yang sama, dan sama-sama melakukan metode yang sama, tetapi kadang-kadang terdapat perbedaan dalam menentukan awal dari Ramadhan. Segolongan umat sudah mulai melakukan puasa, sedangkan golongan yang lain belum. Seolah-olah umat ini tidak satu.

Masalahnya, dalam penentuan awal Ramadhan ini kadang-kadang orang-orang kita ada semacam ingin mempunyai ciri-ciri khusus yang ingin dikedepankan. Katakanlah ada pihak-pihak tertentu di Indonesia ini yang ingin namanya dikenal dan sebagainya. Sehingga dia mencoba untuk Ijtihad sendiri tanpa mau memahami hadits dan Ijtihad-ijtihad orang lain. Itulah yang menjadi permasalahan, perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan juga syawal.

Di Negara Islam seperti di Saudi dan lain-lain, semuanya kompak. Artinya penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya Iedul Fitri itu tidak masing-masing seperti di Indonesia ini. Dan memang sudah jelas dalam Islam, sekiranya tanggal 29 itu memang belum nampak karena disebabkan mendung atau hujan dan sebab lain, maka dalam ini harus disempurnakan bulan Syakban menjadi 30 hari. Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan, kalau langit terjadi mendung atau karena sebab lain yang menyebabkan tidak bisa melihat bulan maka sempurnakanlah 30 hari. Karena bulan didalam Islam itu minimal 29 hari, dan maksimal 30 hari. Tidak ada 28 ataupun 31 hari. Kaidah ini sebenarnya cukup mudah, tapi karena tadi ingin mempunyai ciri khusus di bagiannya atau golongannya sehingga terjadi seperti itu.

Dalam penentuan awal ramadhan atau Syawal ini sebenarnya yang lebih cocok dan berwewenang adalah pemerintah. Artinya bukan masing-masing. Kita kiaskan saja seperti dalam pelaksanaan hukuman misalnya, kalau ada orang yang melihat ada orang yang berbuat zina, kemudian cukup juga bukti dan empat orang saksinya yang melihat, bolehkah di kampung itu menyidang orang yang berbuat zina tersebut, yang kemudian menjatuhkan hukuman? Sedangkan sudah barang tentu tidak boleh seperti itu. Tetapi hendaknya menyerahkan kepada pemerintah. Dalam hal ini pemerintah adalah Departemen Agama yang mempunyai wewenang khusus dibidang untuk menentukan hilal tadi.

Seperti NU misalnya, NU juga ada Ijtihad untuk Rukyatul Hilal. Yang lain juga katakanlah Naqsabandy di Indonesia juga ada Ijtihad. Dan masih banyak contoh lain Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Silakan. Dari hasil perhitungan dan Ijtihad itu kemudian sampaikan kepada pemerintah yang mengolah untuk disampaikan kepada masyarakat. Bukan masing-masing mengumumkan hasil Ijtihad diri sendiri.

Kalau kita berpegang pada hadits yang menyebutkan bahwa ; seandainya tanggal 29 itu kita tidak mampu melihat, sempurnakanlah bulan syakban menjadi 30 hari. Maka Insya Allah tidak akan ada khilaf. Nah, kalau bagaimana kalau tidak bisa dilihat itu pada hari ke 30, ya pasti besoknya hari raya. Tapi kalau masih 29 tentu disempurnakan. Selesai sebenarnya masalahnya. Tapi rasanya sulit sekali untuk bisa bersatu.

Kemudian pada hadits lain, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw sangat memperhatikan hari-hari di bulan Ramadhan itu lebih dari pada memperhatikan bulan-bulan yang lain. Jadi, akhir syakban Rasulullah saw sudah mulai mengintai. Nah, kemudian apabila terjadi mendung maka Rasulullah saw menghitungnya bulan syakban 30 hari, baru Rasulullah berpuasa. Kalau kita berpatokan pada hadits seperti ini, Insya Allah tidak akan ada perbedaan atau Khilaf dalam menentukan awal puasa dan Iedul Fitri.

Mengenai terbitnya Hilal memang ada pendapat yang berbeda, artinya dalam menetapkan. Biasanya antara satu Negara dengan Negara lain memang berbeda. Seperti kita di Indonesia ini ada waktu bagian timur, ada waktu bagian tengah dan ada waktu bagian barat. Dengan perbedaan tempat seperti itu bisa saja disuatu daerah kelihatan duluan, dan di daerah lainnya belum. Seperti halnya antara kita Indonesia dengan Makkah, yang mana kita lebih awal 4 jam dari Makkah. Tapi belakangan ini malah di Makkah Ramadhan lebih dulu dari pada kita di Indonesia.

Puasa ‘Arafah misalnya, kita berpuasa ketika orang-orang sedang beribadah di ‘Arafah. Tapi belakangan ini tidak. Mereka sudah berada di ‘Arafah sebelumnya, katakanlah hari ini sudah di ‘Arafah. Kita, baru puasa ‘Arafah besoknya, padahal besoknya disana sudah Iedul Adha. Sementara orang berpikir, ‘Apa tidak dosa hari raya melakukan puasa?’ bagaimana? Kita masih berpuasa, sedangkan orang lain sudah hari raya. Apa kita dianggap berpuasa pada hari raya? Tidak. Karena puasa itu dasarnya adalah Rukyatul Hilal. Atas dasar masuknya tanggal. Jadi bukan karena orang sudah berpuasa, lantas kita ikut puasa.

Sebagai orang yang beriman, kita harus taat pada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Seperti dalam firman-Nya, ‘Tatlah kepada Allah, Taatlah kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin diantara kamu’. Maka tidak aka nada lagi perbedaan pendapat mengenai Rukyatul Hilal. Walaupun masing-masing masih dibolehkan berijtihad. Silakan berijtihad. Tetapi hasil dari Ijtihadnya itu diserahkan kepada Ulil Amri atau Pemerintah. Insya Allah dengan seperti ini kita bisa bersatu.

Disampaikan oleh:

Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Cipining ; KH Jamhari Abdul Jalal, Lc.

Pada acara Ifthar Jam’i (Pengajian Sore) guru-guru bujang

Tanggal 30 Agustus 2009 M / 09 Ramadhan 1430 H, Pukul 17.00 WIB

sumber : darunnajah-cipining.com

Puasa Arafah I

Fadhilah Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Qamariyah/Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.

Kesunnahan puasa Arafah tidak didasarkan adanya wukuf di Arafah oleh jamaah haji, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia tidak sama dengan di Saudi Arabia yang hanya berlainan waktu 4-5 jam. Ini tentu berbeda dengan kelompok umat Islam yang menghendaki adanya ‘rukyat global’, atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah, dimana penanggalan Islam disamaratakan seluruh dunia, dan Saudi Arabia menjadi acuan utamanya.

Keinginan menyamaratakan penanggalan Islam itu sangat bagus dalam rangka menyatukan hari raya umat Islam, namun menurut ahli falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku secara nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan berlaku satu wilayah hukum. Ini juga berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW sendiri. (Lebih lanjut tentang hal ini silakan klik di rubrik Syari’ah dan Iptek)

Penentuan hari arafah itu juga ditegaskan dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo, akhir 1999. Ditegaskan bahwa yaumu arafah atau hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan pada rukyatul hilal.

Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً



Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)

Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Selain itu, memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:


مَا مِنْ أيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِيْ أَياَّمُ اْلعُشْرِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهُ فَلَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ



Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid. (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa Ramadhan.

Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab tentang puasa:


يُعْلَمُ أَنَّ اْلأَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التََطَوُّعِ أَنْ يَنْوِيَ اْلوَاجِبَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا فَالتَّطَوُّعِ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ




Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya. (A Khoirul Anam) sumber: Buntet Pusantren, NU Online